I. Azas Pengetahuan Lingkungan
I.1 Pendahuluan Ilmu Lingkungan adalah suatu
studi yang sistematis mengenai lingkungan hidup dan kedudukan manusia yang
pantas di dalamnya. Perbedaan utama ilmu lingkungan dan ekologi adalah dengan
adanya misi untuk mencari pengetahuan yang arif, tepat (valid), baru, dan
menyeluruh tentang alam sekitar, dan dampak perlakuan manusia terhadap alam.
Misi tersebut adalah untuk menimbulkan kesadaran, penghargaan, tanggung jawab,
dan keberpihakan terhadap manusia dan lingkungan hidup secara menyeluruh. Timbulnya
kesadaran lingkungan sudah dimulai sejak lama, contohnya Plato pada 4 abad
Sebelum Masehi telah mengamati kerusakan alam akibat perilaku manusia. Pada
zaman modern, terbitnya buku Silent Spring tahun 1962 mulai menggugah kesadaran
umat manusia. Di Indonesia tulisan tentang masalah lingkungan hidup mulai
muncul pada 1960-an. Sejak itu Indonesia terus aktif mengikuti pertemuan puncak
yang membicarakan tentang lingkungan hidup secara global, yaitu Konferensi
Stockholm pada 1972; Earth Summit di Rio de Janiero tahun 1992; dan WSSD di
Johannesburg, tahun 2002. Ilmu lingkungan meliputi hubungan interaksi yang
sangat kompleks sehingga untuk memudahkan mempelajarinya dilakukan berbagai
pendekatan, antara lain: homeostasis, energi, kapasitas, simbiosis, sistem, dan
model. a.Permasalahan Lingkungan Hidup Permasalahan lingkungan hidup terdiri
dari permasalahan lingkungan global dan sektoral. Contoh permasalahan
lingkungan global adalah: pertumbuhan penduduk, penggunaan sumber daya alam
yang tidak merata; perubahan cuaca global karena berbagai kasus pencemaran dan
gaya hidup yang berlebihan; serta penurunan keanekaragaman hayati akibat
perilaku manusia, yang kecepatannya meningkat luar biasa akhir-akhir ini.
Contoh permasalahan lingkungan sektoral dibahas masalah lingkungan yang terjadi
di Indonesia. Masalah tersebut terjadi pada berbagai ekosistem, seperti yang
terjadi di kawasan pertanian, hutan, pesisir, laut, dan perkotaan. Adapun usaha
mengatasi permasalahan lingkungan dilakukan dengan berbagai pendekatan.
Pendekatan yang dibahas adalah cara ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi,
penegakan hukum, dan etika lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan
yang menjadi sangat kompleks diperlukan berbagai upaya pendekatan sekaligus
secara sinergis. b.Struktur Ekosistem Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, batasan dari ekosistem adalah tatanan
unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas
lingkungan hidup. Secara struktural ekosistem terdiri dari komponen biotik dan
abiotik. Komponen biotik ekosistem meliputi: sumber daya tumbuhan, sumber daya
hewan, jasad renik, dan sumber daya manusia. Komponen abiotik ekosistem
meliputi: sumber daya tanah, sumber daya air, sumber daya energi fosil, udara,
serta cuaca dan iklim. Masingmasing komponen yang menjadi bagian dari ekosistem
tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dengan erat. Adapun faktor
lingkungan pembatas berperan besar dalam menentukan komposisi organisme dalam
suatu ekosistem. Dalam konsep faktor pembatas dikemukakan bahwa setiap
organisme memiliki kisaran toleransi terhadap setiap faktor lingkungan abiotik.
c.Fungsi Ekosistem Untuk memahami bagaimana ekosistem berfungsi maka hal
mendasar yang perlu dipahami adalah terdapatnya aliran energi ke dalam
ekosistem dan terjadinya daur materi di dalam ekosistem. Kedua hal tersebut
dapat diamati pada proses produksi dan dekomposisi, rantai dan jaring makanan,
adanya tingkatan tropik di dalam ekosistem, serta terjadinya daur biogeokimia
yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambung-an. Energi ialah
segala sesuatu yang dapat melakukan pekerjaan. Sumber energi dapat
dikelompokkan menjadi: sumber energi tak terbarui (non renewable) yaitu sumber
energi fosil dan nuklir, sumber energi terbarui (renewable) yaitu sumber energi
bukan fosil, misalnya tenaga air dan tenaga angin. Rantai makanan merupakan
perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme
atau melalui jalur makan-memakan. Rantai makanan dibagi atas dua tipe dasar,
yaitu: rantai makanan rerumputan (grazing food chain), dan rantai makanan sisa
(detritus food chain). Unsur yang merupakan persinggungan (interface) antara
komponen habitat yaitu tanah/batuan, air, dan atmosfer, terjadi proses-proses
baik fisik, kimia, maupun biologi yang silih berganti atau bersamaan yang
disebut proses biogeokimia, karena proses ini terjadi berulang-balik, maka
proses ini disebut daur biogeokimia. Di dalam daur unsur atau senyawa kimia
dapat ditemukan adanya 2 (dua) kutub, yaitu kutub cadangan dan kutub pertukaran
atau kutub peredaran. Dari segi biosfer, daur biogeokimia terdiri dari 2 (dua)
kelompok, yaitu tipe gas dan tipe sedimen. Kita sebagai manusia harus
mengetahui tentang asas-asas pengetahuan lingkungan. tujuannya adalah untuk
kita harus mentaati aturan-aturan yang telah berlaku agar lingkungan yang ada
di sekitar kita pada khususnya dan lingkungan diseluruhnya pada umumnya tidak
terjadi kerusakan. Karena sekarang banyak terjadi kerusakan pada lingkungan di
dunia yang disebabkan ketidak tahuan manusia terhadap asas-asas tersebut, atau
mungkin memang itu adalah ulah manusia yang hanya memikirkan materi dan
kepentingannya diri sendiri untuk meraup banyak keuntungan tanpa memikirkan
dampak yang terjadi pada lingkungan yang ada di bumi nanti. Dalam ilmu
lingkungan kita mengenal berbagai macam tentang sumber daya alam, baik itu yang
dapat diperbarui atau yang tidak dapat diperbarui. Sumber daya alam tersebut
harus di gunakan dengan sebaik-baiknya. Asas di dalam suatu ilmu pada dasarnya
merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum, yang kemudian digunakan sebagai
landasan untuk menguraikan gejala (fenomena) dan situasi yang lebih spesifik.
Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan dan pengujian metodologi secara
terus menerus dan matang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuwan secara
meluas. Tetapi ada pula asas yang hanya diakui oleh segolongan ilmuwan tertentu
saja, karena asas ini hanya merupakan penyamarataan secara empiris saja dan
hanya benar pada situasi dan kondisi yang lebih terbatas, sehingga terkadang
asas ini menjadi bahan pertentangan. Ilmu lingkungan merupakan salah satu ilmu
yang mengintegrasikan berbagai ilmu yang mempelajari jasad hidup (termasuk
manusia) dengan lingkungannya, antara lain dari aspek sosial, ekonomi,
kesehatan, pertanian, sehingga ilmu ini dapat dikatakan sebagai suatu poros,
tempat berbagai asas dan konsep berbagai ilmu yang saling terkait satu sama
lain untuk mengatasi masalah hubungan antara jasad hidup dengan lingkungannya.
II.Ekologi.
Ekologi
adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya
dan yang lainnya. berasal dari kata Yunani Oikos ('habitat') dan logos
("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik
interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Dilihat dari pengertiannya dapat di simpulkan bahwa ekologi
adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya, dan sangat
berperan sekali dalam keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi, sumber energi
dalam ekologi adalah matahari , ekonomi dan ekologi berkaitan dalam
keharmonisan kesejahteraan manusia dan kelestarian. Habitat adalah tempat suatu spesies
berkembang. Menurut Clements dan Shelford (1939), habitat adalah lingkungan
fisik yang ada disekitar spesies, atau populasi spesies, atau kelompok spesies.
Dalam ilmu ekologi, bila pada tempat yang sama hidup berbagai kelompok spesies
maka habitat tersebut dinamakan biotop. Bioma adalah sekelompok tumbuhan dan
hewan yang tinggal pada suatu habitat lokasi geografis tertentu. Pembahasan
ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik
antara
lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik
adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba.
Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk
hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi dan
merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan. Ekologi merupakan cabang ilmu
yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an. Akan tetapi,
ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya. Ekologi
mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan
mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam
tempat hidupnya atau lingkungannya. Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya
saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa
ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan
rantai makanan manusia dan tingkat tropik. Para ahli ekologi mempelajari hal
berikut: 1. Perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke
makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang
menyebabkannya. 2. Perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda
dalam faktor-faktor yang menyebabkannya. 3. Terjadi hubungan antarspesies
(interaksi antarspesies) makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Kini para ekolog(orang yang mempelajari ekologi) berfokus kepada
Ekowilayah bumi dan riset perubahan iklim.
I.3
Azas-Azas Pengetahuan Lingkungan
1. Azas mengenai sumber daya alam Sumber daya
alam adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan
kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam
lingkungan hidup kita. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di
dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar
sumber daya alam seperti barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan
banyak lagi lainnya. Azas-azas yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah
azas-azas yang berhubungan dengan materi, energi, ruang, waktu dan
keanekaragaman. Azas yang berhubungan dengan energi yang dinyatakan sebagai
berikut : “Semua energi yang memasuki sebuah organisme hidup, populasi atau
ekosistem dapat dianaggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepaskan .
Energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tetapi tidak hilang
dihancurkan atau diciptakan.” Azas ini telah menjadi hukum dan dikenal dengan
hukum termodinamika I, atau dikenal juga hukum konservasi energi. Azas ini
menerangkan bahwa pada populasi atau ekosistem ada aliran energi. Azas ini
menerangkan proses pelepasan dan penyimpanan energi. Energi itu sendiri
terdapat pada ekosistem atau populasi, dapat dalam bentuk yang berbeda-beda.
Misalnya, pada proses fotosintesa. Energi berasal dari cahaya matahari diubah
menjadi energi kimia oleh tumbuhan yang berklorofil. Selanjutnya energi kimia
oleh tumbuhan tadi digunakan untuk aktivitas metabolisme, pertumbuhan dan
perkembangannya. Kemudian tumbuhan tadi dimakan oleh hewan herbivor dan diolah
dalam tubuh untuk aktivitasnya dan ada pula yang dilepaskan berupa panas atau
hasil eksresi beruapa cairan maupun padatan. Cairan atau padatan tersebut lalu
diuraikan pula mikroorganisme. Demikianlah selanjutnya, jadi energi tadi
mengalir dalam bentuk yang berbedabeda tetapi tidak musnah. Hanya saja pada
aliran energi tadi ada inefisiensi atau ada energi yang terlepas dalam bentuk
panas pada setiap rantai siklus energi. Ini sesuai dengan azas ke-2 tentang
energi yang menyatakan bahwa “ Tak ada sistem pengubahan energi yang
betul-betul efisien.” 2. Azas mengenai stabilitas sistem ekologi Untuk semua
kategori sumber alam kalau pengadaannya sudah mencapai titik optimum, pengaruh
unit kenaikannya sering menurun dengan pertambahan sumber alam itu sampai ke
suatu tingkat maksimum. Jika telah mencapai batas maksimum maka sumber alam itu
justru akan rusak. Azas ini disebut juga azas penjenuhan. Jumlah individu
populasi tergantung pada pengadaan sumber alam yang berkaitan. Dari hal ini
pula bisa diterangkan bahwa pada lingkungan yang stabil populasi hewan atau
tumbuhan cenderung naik atau turun bukan terus naik atau terus turun karena
faktor pembatasnya yaitu sumber alam yang tersedia. Dengan kata lain, akan
terjadi pengintensifan perjuangan hidup kalau persediaan faktor alam tadi
berkurang atau bertambah. Gejala inilah yang kemudian dikenal dengan
pengatuaran populasi karena faktor yang bergantung pada kepadatan
(DensityDependent Factor). Azas berikutnya yang berkaitan dengan stabilitas
sistem ekologi, menyatakan bahwa sistem yang sudah mantap (dewasa)
mengeksploitasi sistem yang belum mantap (belum dewasa). Azas ini menerangkan
bahwa ekosistem atau populasi atau tingkat makanan yang mantap mengalirkan
energi, biomassa dan keanekaragaman ke ekosistem atau populasi yang belum
mantap. Denagn kata lain energi, materi, keanekaragaman bergerak dari yang
sederhana ke raah yang lebih kompleks, atau dari subsistem rendah energi
dipindahkan ke subsistem yang lebih tinggi. (Dr. Abdul Razak dan dr. H. Armin
Arief 2006 : 23) 3. Azas mengenai
fluktuasi populasi Azas yang berkaitan dengan fluktuasi populasi menyatakan
bahwa “derjat keteraturan naik turunnya populasi bergantung kepada jumlah
keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nantinya akan mempengaruhi
populasi. (Dr. Abdul Razak dan dr. H. Armin Arief 2006 : 23) Sebagai ilustrasi, kita berikan
contoh atau analogi untuk menerangkan azas diatas. Misalnya burung elang sangat
bergantung pada tikus tanah sebagai bahan makanan utamanya. Tikus tanah
tergantung pada spesies tumbuhan, tumbuhan hidup juga tergantung pada jenis
tanahnya. Hal ini menunjukkan secara jelas dan fluktuasi dalam populasi. Hal
yang sama terjadi pada seorang pedagang yang akan menaikkan harga hasil
produksinya. Ia harus melakukan analisa terlebih dahulu sebelum memperhatikan
turun naiknya harga bahan mentah yang membentuk hasil produksinya. 4. Rantai
dan jaringan makanan Suatu organisme hidup akan selalu mrmbutuhkan organisme
lain dan lingkungan hidupnya. Hubungan yang terjadi antara individu dengan
lingkungannya sangat kompleks bersifat saling mempengaruhi atau timbal balik.
Hubunagn timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan nonhayati membentuk
sistem ekologi yang disebut ekosistem. Didalam ekosistem terjadi rantai
makanan, aliran energi, dan siklus biogeokimia. Rantai makanan adalah
perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme
atau melalui jenjang makan (tumbuhanherbivora-carnivora-omnivora). Pada setiap
tahap pemindahan energi, 80%-90% energi potensial hilang sebagai panas, karena
itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Ada 2 tipe
dasar rantai makanan :
a. Rantai makanan rerumputan (grazing food
chain). Misalnya : tumbuhanherbivora-carnivora-omnivora.
c.
Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora
= organisme pemakan sisa) predator dan bangkai.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Rantai_makanan) Para ilmuwan ekologi mengenal
tiga macam rantai pokok yaitu: a. Rantai pemangsa Rantai pemangsa landasan utamanya adalah
tumbuhan hijau sebagai produsen.Rantai pemangsa dimulai dari hewan yang
bersifat herbivora dan berakhir pada hewan pemangsa karnivora maupun herbivora.
d.
Rantai parasit Rantai parasit dimulai dari organisme besar hingga organisme
yang hidup sebagai parasit
e.
Rantai saprofit Rantai saprofit dimulai dari organisme mati ke jasad pengurai.
Misalnya jamur dan bakteri.
II.
Sumber Daya Alam
II.1.
Kebijakan Pembangunan Ekonomi Berbasis Sumber Daya Alam dan Lingkungan
II.1.a
Pengertian Pembangunan Pengertian pembangunan sebenarnya sangat tergantung pada
konteks dan pemahaman atau persepsi seseorang terhadap terminologi pembangunan
itu sendiri. Menurut Budiman (2000) kata pembangunan sudah menjadi kata kunci
bagi segala hal. Secara umum, kata pembangunan diartikan sebagai usaha untuk
memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud
terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan
sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi. Menurut Budiman (2000) pemaknaan pembangunan
berdasarkan persepsi masyarakat kecil sangat beragam. Pada sebagian masyarakat
kecil, pembangunan merupakan malapetaka yang mendamparkan hidup mereka. Hal ini
dikarenakan kenyataan bahwa akibat adanya pembangunan, mereka harus terusir
dari tempat tinggal mereka yang menjadi lahan pembangunan. Demikian pada
sebagian masyarakat kecil lain, pembangunan merupakan penghambat mereka untuk
mendapatkan penghasilan. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa akibat adanya
pembangunan di desa, mereka harus bekerja bakti hingga seharian dan menyebabkan
hilangnya kesempatan mereka untuk memperoleh pendapatan pada hari itu. Pembangunan
dalam konteks otonomi daerah merupakan salah satu fungsi Pemerintah Daerah.
Menurut Supriatna (1993) fungsi Pemerintah Daerah tidak lagi semata-mata untuk
menjaga keamanan dan ketertiban, tapi juga ditujukan untuk memberikan
pelayanan-pelayanan untuk mengimbangi perkembangan tuntutan-tuntunan pelayanan
dari masyarakat moderen. Lebih lanjut Supriatna (1993) menuturkan bahwa di
dunia berkembang, terlepas dari aktivitas pemberian pelayanan, Pemerintah
Daerah juga diharapkan menjalankan peran utama untuk melaksanakan pembangunan
di daerah-daerah. Prof. Davey seperti
disebutkan Supariatna (1993: 30) mengelompokkan fungsi Pemerintah Daerah ke
dalam lima kelompok fungsi, yaitu: (i) pemberian pelayanan, (ii) fungsi
pengaturan, (iii) fungsi pembangunan, (iv) fungsi perwakilan, dan (v) fungsi
koordinasi dan perencanaan. Terkait dengan fungsi inilah penting kiranya bagi
daerah untuk dapat berbenah dan mempersiapkan kapasitas dan kapabilitasnya
untuk dapat melaksanakan fungsi pembangunan dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di era otonomi daerah ini. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban moral
dari pemerintah daerah untuk menciptakan kesejahteraan sosial yang diusahakan
melalui program pembangunan. Supriatna
(1993) selanjutnya mengemukakan bahwa dalam kaitan dengan peranan yang
dijalankan oleh Pemerintah Daerah muncul beberapa pernyataan mendasar, diantaranya:
1. Apakah Pemerintah Daerah memang mempunyai kapasitas untuk menjalankan
pembangunan? 2. Apakah Pemerintah Daerah
telah dilengkapi dengan sumber-sumber (resources) yang mencukupi untuk
menjalankan peranannya tersebut? 3.
Sejauhmana Pemerintah Daerah diberi kewenangan/prakarsa (discreation), baik
secara politik maupun finansial? Untuk
menjawab ketiga pernyataan tersebut di atas, perlu kiranya melakukan
perbandingan dan analisis situasi disesuaikan dengan Teori Riggs (1964). Teori
Riggs menyatakan tentang masyarakat prismatik (prismatic society) sebagai model
yang umum di masyarakat dunia ketiga. Dalam teorinya Riggs menyebutkan bahwa
suatu masyarakat yang prismatik ditandai dengan beberapa
ciri
atau karakteristik : (i) tingginya tingkat formalisme, (ii) tumpang tindih
(overlapping), (iii) adanya hak-hak istimewa (particularism), (iv)
keanekaragaman (heterogenity), dan (v) norma-norma masyarakat yang
bermacam-macam (polynormatism). Selain
itu, Teori Riggs juga mengungkapkan bahwa ciri pemerintahan dalam masyarakat
yang prismatik cenderung untuk lebih menekankan pada pembangunan birokrasi
dibandingkan pembangunan politik yang pada akhirnya akan melemahkan kontrol
sosial dan menguatkan dominasi dari birokrasi. Pada akhirnya kondisi ini
mengakibatkan bertumpuknya kekuasaan dan sumberdaya di tangan birokrasi. Lebih
lanjut Teori Riggs juga menyatakan bahwa elit yang berkuasa mempergunakan
birokrasi sebagai instrumen untuk mengontrol Pemerintah Daerah, dengan
memberikan sedikit predikat desentralisasi dan otonomi daerah. Dan, kondisi
inilah yang menghambat Pemerintah Daerah berperan aktif dalam pembangunan
(Supriatna, 1993: 31-32). Pembangunan
sendiri dapat diukur melalui beberapa pendekatan, diantaranya yaitu (i)
kekayaan rata-rata, (ii) pemerataan, (iii) kualitas kehidupan, (iv) kerusakan
lingkungan, dan (v) keadilan sosial dan kesinambungan (Budiman, 2000). Kekayaan
rata-rata dihitung berdasarkan rasio Product Domestic Bruto (PDB) terhadap
jumlah penduduk per tahun. Dalam konteks daerah, kekayaan rata-rata daerah
dapat dihitung berdasarkan rasio Product Domestic Regional Bruto (PDRB)
terhadap jumlah penduduk daerah kabupaten/kota pada suatu tahun tertentu.
Pemerataan dapat diukur dengan menggunakan pendekatan perbandingan terhadap
tiga kelompok penduduk, yaitu penduduk termiskin, penduduk menengah dan
penduduk terkaya, dengan cara menghitung secara sederhana berapa persen PDB
diraih oleh 40% penduduk termiskin, berapa persen PDB diraih oleh 40% penduduk
menengah dan berapa persen PDB diraih oleh 20% penduduk terkaya. Selain itu,
pemerataan juga dapat diukur dengan menggunakan perhitungan Indeks Gini. Dengan
demikian dapat dikatakan, bangsa atau negara yang berhasil melakukan
pembangunan adalah mereka yang di samping tinggi produktivitasnya, penduduknya
juga makmur dan sejahtera secara relatif merata (Budiman, 2003). Kualitas
kehidupan dapat didekati melalui penggunaan tolok ukur PQLI (Physical Quality
of Life Index). Tolok ukur PQLI ini diperkenalkan Moris seperti disebutkan
Budiman (2000) mengukur tiga indikator, yaitu: (1) rata-rata harapan hidup, (2)
rata-rata kematian bayi, dan (3) rata-rata prosentasi dan melek huruf. Kerusakan lingkungan dapat dijadikan sebagai
salah satu pendekatan untuk mengukur sejauh mana kerusakan lingkungan dapat
diminimalisir oleh adanya pembangunan. Oleh karena itu dalam hal ini perlu kiranya
dipertimbangkan faktor-faktor kerusakan lingkungan sebagai tolak ukur
keberhasilan pembangunan. Faktor kerusakan lingkungan tersebut, misalnya
kerusakan terhadap sumberdaya alam, polusi akibat limbah industri, dan
sebagainya (Budiman, 2003). Lebih lanjut
Budiman (2000) menyebutkan bahwa keadilan sosial dan berkesinambungan dapat
dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan melalui unsur-unsur
seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merata serta berkesinambungan.
Berkesinambungan dalam hal ini dilihat dari tidak adanya kerusakan sosial yang
dapat diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang atau timpang,
serta tidak adanya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tidak ramahnya
pembangunan terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Desain
Kebijakan Pembangunan Ekonomi di Era Otonomi Daerah Pembangunan ekonomi di era
otonomi daerah ini mau tidak mau sangat memerlukan pendekatan yang baik dan
tepat agar proses pembangunan yang dilakukan benar-benar sejalan dengan semangat
implementasi good governance. Oleh karena itu, perlu kiranya pembangunan
ekonomi ini direncanakan secara matang dan mengedepankan prinsip-prinsip
pemerataan, keadilan dan kesejahteraan bersama.
Wahyudin (2005) menyebutkan bahwa perencanaan adalah langkah penting
yang harus dilaksanakan dalam suatu proses pembangunan. Secara sederhana,
perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai target-target kuantitatif yang
mencakup semua aspek utama pembangunan yang ingin dicapai dalam suatu periode
tertentu. Fungsi penting dalam perencanaan pembangunan adalah untuk
memengaruhi, memberikan arah dan dalam beberapa hal diharapkan mampu
mengendalikan perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pada
kurun waktu tertentu. Perencanaan pembangunan yang baik adalah perencanaan yang
mampu mengakomodasi aspirasi dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses
perencanaannya. Seiring dengan bergulirnya otonomi daerah dan semangat
reformasi, perencanaan pembangunan yang baik seyogianya beranjak dari realitas
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, serta harus aspiratif dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam kaitan ini, suatu proses perencanaan
pembangunan hendaknya disusun dengan melibatkan masyarakat yang terkait
(stakeholders). Hal ini sangat penting dilakukan agar segenap program yang
berhasil dirancang merupakan buah pemikiran dari para stakeholders yang pada
gilirannya akan menambah semangat kebersamaan dalam kerangka upaya
pengejewantahannya (Wahyudin, 2005).
Perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan pendekatan di atas
memerlukan suatu wadah atau media yang diharapkan dapat membantu pemerintah
dalam menyusun suatu perencanaan pembangunan yang bersifat aspiratif dan bottom
up planning. Para perencana di mana pun tentunya tidak asing lagi dengan
istilah bottom up planning (perencanaan dari bawah). Ini merupakan salah satu
pendekatan perencanaan yang disusun dan digali secara partisipatif dari bawah
(grass root). Sebagai sebuah pendekatan perencanaan, tentunya sangat memerlukan
suatu metode pelaksanaan yang dapat dilakukan secara cepat, tepat dan sesuai
dengan maksud dan tujuan dilaksanakan kegiatan tersebut (Wahyudin, 2005). Kebijakan pembangunan Indonesia selama ini
dinilai senantiasa diarahkan pada target pertumbuhan (target growth oriented).
Padahal fenomena yang terjadi di Indonesia kurang menunjukkan iklim yang
positif, sehingga sentuhan pembangunan ekonomi di level grass root seringkali
terabaikan dan cenderung gagal serta tidak menyentuh permasalahan mendasar
masyarakat Indonesia. Platform pembangunan semacam ini pada pasca Pemilu 2004
ke depan sudah seharusnya digeser, sehingga target pembangunan Indonesia
bukanlah sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi belaka. Oleh karena itu, setting
ekonomi yang dibangun seyogianya berpijak pada kebutuhan riil masyarakat dan
berorientasi pada keberadaan sumberdaya yang selama ini dimanfaatkan sebagai
sumber penghidupan masyarakat Indonesia, seperti sumberdaya kelautan, pertanian
dan perkebunan, serta kehutanan (Wahyudin, 2004). Lebih lanjut Wahyudin menyebutkan bahwa fokus
pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan ini seyogyanya
harus menjadi perhatian dasar pemerintah dalam menentukan sumber-sumber devisa
potensial dan pembangunan ekonomi kerakyatan. Sejarah telah membuktikan, kekuatan
ekonomi rakyat mampu bertahan semasa krisis moneter 1997. Ekonomi rakyat
benar-benar tahan banting. Dengan demikian, krisis moneter 1997 setidaknya
menjadisaksi sejarah dan sekaligus pelajaran sangat berharga, bahwa
pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan mampu bertahan dalam badai krisis
moneter. Sementara di lain pihak, syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi
nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di
bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya (Usman, 2007). Dalam hal ini ekonomi berbasis kerakyatan ini
lebih cenderung merupakan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan.
Banyak realitas sejarah menggambarkan bahwa ekonomi rakyat yang disokong oleh
sektor-sektor pertanian, perikanan, kehutanan dan perkebunan tetap mampu
bertahan memberikan kontribusi penghidupan masyarakat Indonesia di saat-saat
terjadinya krisis. Realitas empirik dari kekuatan ekonomi rakyat dapat dilihat
dalam dinamika ekonomi riil masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa ekonomi kerakyatan
merupakan kegiatan ekonomi yang menghidupi kita. Setiap hari yang kita
hidangkan di meja makan adalah bahan-bahan hasil produksi rakyat. Beras sampai
garam, sayur-mayur sampai bumbu, merupakan produksi perekonomian rakyat, bukan
produksi ekonomi konglomerat. Jadi, perekonomian rakyatlah yang menghidupi, dan
menjadi pendukung kehidupan bangsa selama ini. Jika sekiranya perekonomian
nasional terus-menerus menghadapi krisis, ekonomi rakyat akan masih bisa hidup,
betapapun subsistemik. Malah, sejak zaman perjuangan fisik melawan kolonial,
ekonomi rakyat yang memberi "makan" para pejuang kita (Usman, 2007). Terlepas
dari pemakaian istilah ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan yang digunakan
dalam wacana, yang jelas, ekonomi kerakyatan menurut(Usman, 2007) dapat
didefinisikan sebagai sektor ekonomi yang berisi kegiatan-kegiatan ekonomi
rakyat. Sementara perekonomian rakyat adalah sistem ekonomi dimana rakyat dan
usaha-usaha ekonomi kerakyatan berperan integral dalam perekonomian nasional.
Misalnya, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah kepemimpinan atau
pemilikan anggota-anggota masyarakat, berdasarkan aturan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Wahyudin (2004) menyebutkan pentingnya dukungan pemerintah atas empat hal dalam
kerangka pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya
pembangunan kelautan dan perikanan, yaitu (i) adanya kebijakan makro yang
berorientasi padapengembangan aktivitas ekonomi yang berbasis sumberdaya alam
dan lingkungan; (ii) penyediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya;
(iii) dukungan penelitian dan pengembangan teknologi; dan (iv) pengembangan
pola agribisnis. Dukungan Kebijakan Makro Pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya
alam dan lingkungan di Indonesia memerlukan kebijakan makro yang efektif dan
efisien terutama untuk menempatkan pengembangan berbagai aktivitas dan bisnis
ini sebagai salah satu prime moverpembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam
dan lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, disain kebijakan ekonomi makro
Indonesia seoptimal mungkin harus berpihak pada proses pengembangan bisnis dan
aktivitas sektor ini dalam rangka memberikan keleluasaan ruang pertumbuhan dan
pengembangan bisnis secara efektif dan efisien. Terlebih dalam rangka
menghadapi era perdagangan bebas yang mau tidak mau harus dihadapi secara
optimal. Salah satu kebijakan makro yang dapat diberikan, misalnya, dengan
memberikan proteksi terhadap datangnya (impor) komoditas (misal, price protection,
tax, dan sebagainya) dan menjaga supply produk lokal agar tetap kontinyu. Pemerintah selaku pembuat kebijakan
diwajibkan memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap pengembangan
bisnis ini. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada
masyarakat Indonesia untuk menggarap dan memproduksi berbagai komoditas secara
bebas dengan perhitungan tanpa takut mengalami kerugian. Kebebasan tersebut
harus dibarengi dengan adanya pemberian property rightyang efisien secara
ekonomi. Efisien secara ekonomi akan terwujud jika property rightyang dimiliki
masyarakat menunjukkan sifat universal (universality),eksklusif (execlusive),
dapat diperjualbelikan secara sah (transferable) dan memperoleh jaminan
keamanan (enforceability). Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan
insentif, berupa pemberian kredit lunak yang diintegrasikan dengan sistem
pembinaan berkala dan kontinu, sehingga pemberian kredit tidak hanya dijadikan
sebagai charitysaja. Pemerintah dalam hal ini diharapkan juga mampu memberikan
jaminan keamanan bahwa komoditas yang dihasilkan mempunyai pasar yang kontinu
dan jika dimungkinkan harga jualnya mempunyai harga dasar atau harga break even
point bagi para pembudidaya. Dalam hal ini, diharapkan pemerintah dapat
memberikan justifikasi penetapan harga minimal pembelian, tentunya harus tetap
mempertimbangkan cost-benefitaktivitas ekonomi yang dibangun. Dukungan Infrastruktur dan Fasilitas
Pendukung Pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di
Indonesia memerlukan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya, karena
infrastruktur dan fasilitas pendukung ini merupakan hal yang sangat krusial
bagi pengembangan aktivitas ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan.
Pemerintah dalam hal ini diharapkan dapat menyediakan prasarana dan sarana
jalan, telekomunikasi, energi dan sebagainya. Bahkan diharapkan pemerintah
dapat membangun sistem prasarana jalan yang mampu menghubungkan pusat-pusat
produksi kelautan dan perikanan dengan kapasitas jalan yang dapat dilalui kontainer-kontainer.
Selain itu, sistem transportasi yang ramah terhadap pengembangan bisnis
berbasis sumberdaya alam dan lingkungan juga diperlukan. Ramah dalam hal ini
diartikan bahwa alat atau sarana dan prasarana transportasi tersebut terbilang
efektif dalam mengangkut dan mendistribusikan komoditas yang dihasilkan. Dalam
hal ini ketakutan bahwa komoditas yang diangkut rusak dan kurang terjaga dapat
dihindarkan. Disamping efektif, diharapkan prasarana dan sarana transportasi
terbilang efisien secara ekonomi. Artinya bahwa dari sisi cost tidak terlalu
memberatkan para produsen berbasissumberdaya alam dan lingkungan. Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan
lingkungan di Indonesia juga memerlukan dukungan penelitian dan pengembangan
teknologi. Pengembangan teknologi ini diarahkan untuk menghasilkan teknologi
tepat guna terutama bagi upaya pengembangan komoditas yang bernilai jual tinggi
(high value) dan mempunyai peluang untuk bersaing di pasar domestik maupun internasional. Pengembangan teknologi dalam hal ini tidak
saja berkutat dalam pengembangan teknis ekstraksi semata, melainkan juga semua
faktor terkait dalam hal teknologi pengolahan, teknologi distribusi atau
pengangkutan, dan teknologiteknologi terkait lainnya. Hal terpenting lainnya
adalah adanya teknologi penanggulangan dan pencegahan penyakit serta
peningkatan kualitas produk, baik bagi produk mentah maupun produk olahan. Hal
ini sangat perlu untuk dilakukan agar kualitas produk yang dihasilkan dapat bersaing
secara kompetitif di pasar lokal dan internasional.
II.1.b
Pendekatan Agribisnis Pembangunan
ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia memerlukan
pendekatan pengembangan yang dapat mengakomodasi secara integral dan efisien setiap
aktivitas produksi, pasca panen, distribusi dan pemasaran, yaitu pendekatan
sistem agribisnis berbasis sumberdaya alam dan lingkungan. Sesuai dengan sifat
dan karakteristik komoditas SDA yang mempunyai tingkat rentanitas tinggi
terhadap varibel waktu, maka pengembangan teknologi produksi, pasca panen,
strategipemasaran, sistem angkutan produk dan sebagainya menjadi bagian yang
harus diperhatikan sebagai prasyarat pengembangan bisnis berbasis SDA dan
lingkungan di Indonesia ini. Sistem agribisnis berbasis SDA dan lingkungan ini
akan sangat tergantung pada seberapa besar pemerintah mampu mendorong sektor
swasta untuk dapat berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Aktivitas produksi yang
dijalankan akan sangat membutuhkan modal dan pembinaan bisnis agar dapat berkembang,
mandiri dan berkelanjutan. Dalam hal ini yang dapat dilakukan pemerintah adalah
menyiapkan agar kebijakan makro seperti yang digambarkan di muka dapat
diimplementasikan. Ketika produksi
berjalan, maka produk atau komoditas yang dihasilkan harus dijual dan dalam hal
ini jelas ketersediaan pasar sangat diperlukan. Dalam hal ini, penting
dikembangkan agar pasar utama adalah industri pengolahan dalam negeri.
Diharapkan melalui stimulans terhadap berkembangnya sektor industri pengolahan
dapat mengatasi persoalan pentingnya penyediaan pasar yang membutuhkan bahan
mentah untuk diolah. Selanjutnya hasil olahan juga perlu pasar agar
produktivitas usaha pengolahannya dapat kontinyu, maka yang perlu dilakukan
adalah memberikan jaminan bahwa produk olahan yang dihasilkan mempunyai daya
saing yang tidak kalah dengan produk olahan dari luar, sehingga kembali lagi
pasar lokal dapat diambil sebagai pasar utama penjualan produk olahan ini.
Implikasi Kebijakan Pembangunan Ekonomi Berbasis Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Kebijakan pemerintah untuk memfokuskan pembangunan ekonomi masyarakat pada
kebijakan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan menurut Wahyudin
(2004) dapat membawa konsekuensi terhadap kemampuan berproduksi dan konsumsi
masyarakat. Deskripsi implikasi
kebijakan pemerintah tersebut tidak lain akan mengikuti solusi Don Kanel
tentang bagaimana Double Squeeze berlaku pada penerapan kebijakan yang terfokus
pada kebijakan pertanian. Teorama Don Kanel ini akan berlaku bilamana kebijakan
dan syarat-syarat efisiensi ekonomi (property right) yang jelas dan sistem
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada SDA, seperti dikemukakan sebelumnya
terjadi. Sehingga, dapatlah diprediksi bahwa in the long run penerapan
kebijakan ekonomi yang demikian itu akan membuat kehidupan masyarakat
Indonesia, khususnya yang bermata pencaharian di sektorsektor berbasis
sumberdaya alam dan lingkungan akan meningkat. Peningkatan penghidupan akibat
adanya peningkatan produktivitas dan pendapatan ini akan mendorong dan memberikan
dampak turunan bagi beberapa hal krusial dalam aktivitas ekonomi. Pertama,
peningkatan pendapatan dan penghidupan ini akan mendongkrak tingkat daya beli
masyarakat akan barang dan jasa (consumption) sedikit demi sedikit. Kedua,
kemampuan daya beli ini juga akan dibarengi oleh kemampuan untuk menyimpan
(saving) dan alokasi dana untuk re-investasi atau pengembangan usaha. Ketiga,
pengembangan usaha yang dilakukan in the long run akan mendorong peningkatan
produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan yang kemudian
akan kembali dialokasikan untuk konsumsi, saving, pengembangan usaha dan
seterusnya (Wahyudin, 2004). Peningkatan
daya beli masyarakat (consumption) di sisi lain secara signifikan akan
mendorong peningkatan transaksi jual-beli barang dan jasa. Peningkatan
transaksi ini secara teoritis akan meningkatkan investasi sektor riil, terutama
yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa yang merupakan kebutuhan
masyarakat Indonesia. Dalam hal ini terjadi penggunaan kapital yang dihasilkan
akibat adanya transaksi dan konsumsi masyarakat tanpa harus melalui sistem
kredit atau pinjaman usaha dari lembaga keuangan. In the long run, peningkatan
daya beli masyarakat akan meningkatkan tingkat investasi yang pada gilirannya
akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Peningkatan perekonomian ini secara
signifikan akan meningkatkan peran pemerintah untuk memberikan pelayanan
publik, berupa pembangunan nasional (pengembangan fasilitas publik) dan
sebagainya (Wahyudin, 2004).
II.2.
Pengelolaan Sumber Daya Alam Pembangunan yang seimbang dan terpadu antara aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup adalah prinsip pembangunan yang
senantiasa menjadi dasar pertimbangan utama bagi seluruh sektor dan daerah guna
menjamin keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri. Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004–2009, perbaikan pengelolaan sumber
daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup diarahkan untuk memperbaiki
sistem pengelolaan sumber daya alam agar sumber daya alam mampu memberikan
manfaat ekonomi, termasuk jasa lingkungannya, dalam jangka panjang dengan tetap
menjamin kelestariannya. Dengan demikian, sumber daya alam diharapkan dapat
tetap mendukung perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, agar tetap dapat
dinikmati oleh generasi mendatang. Dalam pembangunan sumber daya kehutanan,
hingga tahun 2004, kebijakan diprioritaskan pada pemberantasan penebangan liar,
penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi
dan konservasi sumber daya hutan, dan penguatan desentralisasi kehutanan.
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan antara lain meliputi pemberantasan
penebangan liar bekerjasama dengan Mabes Polri, TNI AL, Departemen Hukum dan
HAM, pemerintah daerah, negara sahabat dan LSM baik lokal maupun internasional;
penerapan kebijakan soft landing yaitu penurunan jatah produksi kayu dari hutan
alam secara bertahap dan penilaian kinerja pengelolaan hutan alam produksi oleh
lembaga penilai independen; rehabilitasi dan pemulihan sumber daya alam yang
diprioritaskan pada 282 DAS (Daerah Aliran Sungai) prioritas I dan II;
meningkatkan realisasi pelaksanaan reboisasi dengan melaksanakan Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang mencapai 252 ribu Ha; meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan
(PMDH) dengan melibatkan 169 pengusaha HPH di luar Jawa, Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani di Jawa, dan Hutan Kemasyarakatan
(HKM) di beberapa daerah. Pelaksanaan pembangunan kelautan diarahkan untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang
dilakukan dengan mendayagunakan potensi sumber daya pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil, termasuk selat, tanjung dan teluk, sesuai daya dukung
lingkungannya. Hasil pembangunan kelautan telah memberikan kontribusi sebesar
23,11 persen terhadap PDB nasional pada tahun 2003. Kontribusi tersebut berasal
dari minyak dan gas, industri maritim, perikanan, jasa angkutan laut, wisata
bahari, bangunan laut dan jasa-jasa lainnya. Diperkirakan kontribusi ini terus
meningkat pada tahun 2004 dan 2005. Dalam rangka mengamankan sumber daya
kelautan dari kegiatan pencurian (illegal fishing) dan perusakan (destructive
fishing) telah dikembangkan kegiatan pengawasan dan pengendalian sumber daya
kelautan, melalui penerapan monitoring, controlling and surveillance/vessel
monitoring system (MCS/VMS). Upaya pengendalian dan pengawasan tersebut
didukung dengan pemasangan alat transmitter sebanyak hampir 1.500 unit pada
kapal-kapal penangkapan ikan pada tahun 2004 dan 2005, dan penambahan 2 unit
sarana kapal pengawas perikanan. Di samping itu, juga dilakukan upaya
pembenahan sistem perijinan usaha perikanan, serta pelaksanaan gelar operasi
penertiban laut terpadu dengan instansi terkait. Selain itu, sampai dengan
tahun 2004 telah dilaksanakan pula penerapan sistem pengawasan berbasis
masyarakat dan pembentukan lebih dari 280 kelompok pengawas masyarakat. Untuk
meningkatkan kualitas ekosistem pesisir dan laut, telah dilakukan upaya
konservasi dan rehabilitasi pesisir dan laut melalui pengelolaan sumber daya
pesisir dan laut secara terpadu; pelaksanaan program pengembangan daerah
perlindungan laut (marine protected areas); rehabilitasi dan pengelolaan
ekosistem terumbu karang dan mangrove; serta pengembangan 7 taman nasional
laut, 6 suaka margasatwa laut, dan 10 cagar alam laut. Pada tahun 2005 juga
mulai dilaksanakan kegiatan kerja sama regional di bidang pengelolaan kawasan konservasi
laut Sulu Sulawesi (Sulu Sulawesi Marine Eco-Region) dengan Malaysia dan
Filipina. Di samping itu, telah dilaksanakan pula Gerakan Nasional Bersih Laut
dan Pantai dalam rangka pengendalian pencemaran pesisir dan laut di berbagai
daerah. Selanjutnya, dalam pengembangan riset sumber daya kelautan dan
perikanan telah dilaksanakan kegiatan riset di wilayah-wilayah strategis,
seperti Laut Arafura, khususnya untuk mengetahui stok sumber daya ikan dan
potensi kelautan lainnya. Untuk menjamin kedaulatan NKRI, di samping melakukan
kegiatan pertahanan dan keamanan juga direncanakan pengembangan pulau-pulau
kecil di wilayah terluar yang berbatasan dengan negara tetangga. Dalam
pelaksanaannya telah dilakukan kerja sama yang melibatkan sektor-sektor terkait
dan pemerintah daerah. Selain itu, mengingat letak geografis Selat Karimata
yang berada di jalur pelayaran internasional, maka dikembangkan kerja sama
antar daerah dalam rangka pengelolaan dan pengawasan sumber daya kelautan dan
perikanan secara terpadu. Pembangunan pertambangan dan sumber daya mineral
sejak tahun 2004 secara umum diarahkan untuk mengatasi penurunan produksi
hasil-hasil pertambangan dan sumber daya mineral, serta meningkatkan jumlah
cadangan dan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Untuk mengatasi
penurunan jumlah produksi dilakukan kegiatan eksplorasi secara intensif untuk
pencarian lokasi deposit dan cadangan. Khusus untuk minyak dan gas bumi
kegiatan eksploitasi pada suatu lapangan dipercepat dengan secara intensif
menawarkan lapanganlapangan yang sudah siap untuk dieksploitasi kepada pihak
yang berminat. Kualitas lingkungan hidup sangat bergantung pada perilaku dan
kapasitas manusia yang hidup di dalamnya. Hal ini juga membutuhkan prasarana
pendukung dalam bentuk peraturan yang konsisten, dan standar penilaian yang
jelas. Dalam tahun 2004, aturan mengenai baku mutu lingkungan, baik air limbah
maupun emisi gas telah dihasilkan, disertai pula dengan pengesahan dan
pembahasan berbagai peraturan perundangundangan, antara lain UU Ratifikasi
Protokol Kyoto dan Protokol Cartagena, Keppres Pengelolaan Kawasan Karst, dan
pembahasan RUU Pemanfaatan Sumber Daya Genetika. Kegiatan penyebarluasan
informasi dan isu lingkungan hidup yang dilakukan di pusat dan daerah juga
telah meningkatkan kepedulian banyak pihak terhadap kondisi lingkungan hidup.
Hal ini juga didukung dengan pelaksanaan Program Bangun Praja, Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PROPER), dan Program Super Kasih, pembinaan tim penilai AMDAL, serta
terbentuknya Environmental Parliament Watch di 64 kota (14 kluster). Berbagai
upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang telah
dilakukan masih memerlukan tindak lanjut mengingat masih banyaknya masalah
serta tantangan yang dihadapi dalam tahun 2006. Pemanfaatan hutan sebagai modal
pembangunan ekonomi nasional telah melebihi kemampuannya sebagai sumber daya
alam yang dapat diperbaharui. Peran hutan selama ini baru terfokus pada sisi
produksi kayu, sementara hasil hutan nonkayu yang telah diusahakan oleh
masyarakat secara tradisional dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan belum
dimanfaatkan secara optimal. Berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan masih
belum mampu menyelesaikan permasalahan di bidang kehutanan. Penerapan kebijakan
soft landing hingga kini berdampak pada kesenjangan bahan baku yang diperkirakan
mencapai sekitar 26 juta m3 per tahun ditambah dengan masih adanya penebangan
ilegal untuk “memenuhi” permintaan industri. Sementara itu, nilai tambah dari
produk hutan nonkayu seperti air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan
keindahan alam belum berkembang seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor
ekonomi. Praktik penebangan liar dan konversi lahan juga telah menimbulkan
dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan daerah aliran sungai
(DAS). Kerusakan yang juga dipacu oleh lemahnya kapasitas kelembagaan
pengelolaan DAS dan kurangnya koordinasi antara kegiatan di hulu dan hilir
telah menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di
beberapa daerah. Pembangunan sumber daya kelautan juga masih menghadapi banyak
permasalahan dan tantangan dalam pengembangannya. Masih banyaknya kegiatan yang
merugikan negara yaitu praktek illegal fishing terutama di Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dan penambangan pasir laut secara ilegal, memerlukan pengawasan dan
penegakan hukum yang ketat di laut. Di samping itu, permasalahan lainnya adalah
terjadinya kerusakan lingkungan pada ekosistem pesisir dan laut berupa
kerusakan fisik dan pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut. Terjadinya
deforestrasi hutan mangrove, degradasi terumbu karang, dan padang lamun di
kawasan pesisir dan laut mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya
keanekaragaman hayati laut. Selain itu, sistem mitigasi bencana alam laut dan
sistem kewaspadaan dini masih belum dikembangkan dengan baik, mengingat lokasi
Indonesia yang terletak di daerah rawan bencana. Sementara itu, perencanaan
tata ruang dan pengembangan wilayah pesisir dan laut juga belum dikembangkan
secara tepat. Kendala lain yang juga dihadapi adalah belum terselesaikannya
batas wilayah laut dengan negara tetangga, terutama dengan Singapura, Malaysia,
Timor Leste, dan Filipina. Dalam kaitannya dengan perbatasan RI dengan negara
tetangga, terdapat 92 pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan yang menjadi
titik pangkal. Sementara itu, pengelolaan terhadap pulau-pulau kecil tersebut
masih belum dilakukan secara optimal, yang tentunya menjadi tantangan penting
bagi Indonesia. Selanjutnya, untuk mengembangkan sumber daya di wilayah laut dalam
masih dijumpai kendala seperti masalah permodalan dan teknologi, yang jika
diatasi dapat menjadi salah satu keunggulan komparatif sumber daya kelautan. Di
samping itu, masih banyak barang muatan kapal tenggelam yang belum diupayakan
pemanfaatannya secara optimal yang dapat digunakan sebagai tambahan modal
kapital dalam pengembangan sumber daya kelautan. Semakin rendahnya minat
penanaman modal dalam usaha pertambangan dalam negeri memerlukan upaya
penggalakkan investasi di bidang pertambangan. Upaya tersebut dilakukan dengan
membuka peluang investasi yang sangat menguntungkan dengan kemudahan perijinan,
informasi yang terbuka, jaminan keamanan, dan kepastian berusaha. Sebaliknya,
untuk suatu kegiatan pertambangan yang sudah sangat menguntungkan dan
diusahakan secara luas, seperti pertambangan batubara misalnya, perlu dilakukan
pengendalian secara seksama agar tidak merusak lingkungan. Beberapa tahun
terakhir ini batubara menjadi komoditas tambang yang banyak diminati dengan besarnya
permintaan dari RRC, Korea dan Taiwan. Apabila eksploitasi yang dilakukan tidak
disertai upaya pengendalian secara seksama, maka hal ini akan merusak cadangan
dan lingkungan yang ada. Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan
menjadi tantangan adalah kasus-kasus pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya
dimensi ekonomi, hukum dan sosial dari kasus PETI ini membuat penanganannya
harus hatihati. Selain itu, bencana gempa bumi yang terjadi di beberapa wilayah
di Indonesia menjadi alasan utama diperlukannya pengembangan sistem mitigasi
bencana antara lain melalui penyelidikan geologi untuk memperoleh informasi
yang akurat. Pro dan kontra kenaikan harga BBM masih menjadi tantangan yang
harus dikaji lebih mendalam mengingat gejolak harga minyak mentah dunia yang
masih akan terus terjadi, sementara kemampuan keuangan pemerintah yang semakin
juga terbatas. Dari sisi lingkungan hidup, permasalahan pencemaran air, udara,
dan tanah diperkirakan masih belum tertangani secara signifikan akibat semakin
pesatnya aktivitas pembangunan yang terkadang masih mengabaikan aspek
kelestarian fungsi lingkungan. Kerusakan dan kehilangan spesies-spesies
keanekaragaman hayati masih harus ditanggulangi karena semakin banyak spesies
yang terancam punah dan kerusakan ekosistem lainnya. Hal tersebut masih
disertai dengan rendahnya kesadaran masyarakat untuk dapat menjaga dan
melestarikan keanekaragaman hayati. Di samping itu, perlu dikembangkan sistem
perencanaan yang adaptif terhadap perubahan iklim global dan harus
memperhitungkan aspek kerawanan bencana serta pengembangan sistem peringatan
dini bagi daerah rawan bencana yang harus dilengkapi dengan pembangunan daerah
sabuk alami (green belt area) sebagai upaya mitigasi bencana alam khususnya
gempa dan tsunami.
II.2.b
Sasaran Pembangunan Tahun 2006 Secara umum, sasaran pembangunan yang ingin
dicapai adalah mulai membaiknya sistem pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Sementara itu, secara khusus, sasaran pembangunan dalam
bidang kehutanan adalah: 1. Meningkatnya upaya penanggulangan pembalakan liar
dan penyelundupan kayu. 2. Meningkatnya pemantapan kawasan hutan antara lain
melalui penunjukan kawasan hutan di 3 provinsi baru serta terwujudnya status
hukum kawasan hutan yang sudah ditata batas temu gelang pada 125 kelompok hutan
dan penataan hutan produksi 2 juta Ha di 5 provinsi. 3. Terlindunginya sumber
daya hutan dari kerusakan antara lain melalui penyusunan beberapa peraturan
perundangan di bidang konservasi dan pengembangan konsep dan sistem mekanisme
pendanaan berkelanjutan. 4. Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumber daya
hutan melalui tata kelola yang baik (good governance) antara lain melalui
pendampingan kelompok usaha produktif dan pengembangan sistem pengawasan hutan
oleh masyarakat. 5. Terehabilitasinya beberapa DAS yang rusak antara lain
melalui implementasi model DAS mikro di 31 wilayah BP DAS, dan 6. Tersedianya
data dan informasi sumber daya hutan antara lain melalui penyusunan data
tematik kehutanan dalam satu sistem dasar dan data potensi neraca sumber daya
hutan di 10 kabupaten. Sasaran yang akan dicapai dalam pembangunan kelautan
adalah: 1. Menurunnya kegiatan ilegal dan merusak di wilayah laut dan pesisir.
2. Meningkatnya kualitas pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau
kecil secara terpadu, lestari, dan berbasis masyarakat. 3. Meningkat dan
berkembangnya kawasan konservasi laut dan atau pengembangan daerah perlindungan
laut. 4. Terwujudnya ekosistem laut dan pesisir yang bersih, sehat, dan produktif.
5. Terintegrasinya pembangunan laut, pesisir, dan daratan dalam satu kesatuan
pengembangan wilayah. 6. Berkembangnya riset dan teknologi di bidang kelautan.
7. Percepatan penyelesaian batas laut dengan negara tetangga, terutama
Singapura, Malaysia, Timor Leste, Filipina; dan 8. Meningkatnya upaya mitigasi
bencana alam laut dalam rangka melindungi keselamatan masyarakat yang bekerja
di laut dan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sedangkan sasaran dalam pembangunan bidang pertambangan dan sumber daya mineral
adalah:
1.
Meningkatnya cadangan, produksi, dan ekspor migas.
2.
Terjaminnya pasokan migas dan produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
3.
Meningkatnya investasi pertambangan dan sumber daya mineral dengan perluasan
lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
4.
Teridentifikasinya “kawasan rawan bencana geologi” sebagai upaya pengembangan
sistem mitigasi bencana; dan
5.
Berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI) dan usaha-usaha
pertambangan yang merusak dan yang menimbulkan pencemaran.
Selanjutnya, sasaran yang akan dicapai melalui
pembangunan lingkungan hidup adalah:
1.
Berkurangnya pencemaran air, udara dan tanah di kota-kota besar disertai
pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor.
2.
Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
3.
Pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman IBSAP
2003–2020.
4.
Tersusunnya aturan pendanaan lingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk
mengatasi kecilnya pembiayaan sektor lingkungan hidup
5.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara sumber daya alam
dan lingkungan hidup.
II.2.c
Arah Kebijakan Pembangunan Tahun 2006 Untuk mencapai sasaran sebagaimana
disebutkan di atas, arah kebijakan pembangunan diutamakan untuk
mengarusutamakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang
pembangunan. Secara rinci, arah kebijakan yang ditempuh dalam pengelolaan
sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah sebagai berikut.
Pembangunan kehutanan diarahkan untuk:
1.
Memperbaiki sistem pengelolaan hutan dengan meningkatkan keterlibatan
masyarakat secara langsung dalam pengelolaan hutan, meningkatkan koordinasi dan
penguatan kelembagaan dalam wilayah DAS, serta meningkatkan pengawasan dan
penegakan hukumnya.
2.
Mencapai kesepakatan antar tingkat pemerintahan dan mengimplementasikan
pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan.
3.
Mengefektifkan sumber daya yang tersedia dalam pengelolaan hutan.
4.
Memberlakukan moratorium di kawasan tertentu; dan
5.
Memanfaatkan hasil hutan nonkayu dan jasa lingkungannya secara optimal.
Pembangunan
kelautan diarahkan untuk :Mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya
laut, pesisir, dan pulaupulau kecil secara lestari berbasis masyarakat,
Memperkuat pengendalian dan pengawasan dalam pemanfaatan sumber daya kelautan
dan perikanan, Meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir, dan pulau-pulau
kecil serta merehabilitasi ekosistem yang rusak, seperti terumbu karang, mangrove,
padang lamun, dan estuarim, Mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup di wilayah pesisir, laut, perairan tawar (danau, situ, perairan umum),
dan pulau-pulau kecil, Menjalin kerjasama regional dan internasional dalam
rangka penyelesaian batas laut dengan negara tetangga , Mengembangkan upaya
mitigasi lingkungan laut dan pesisir dalam rangka peningkatkan perlindungan
keselamatan bekerja dan meminimalkan resiko terhadap bencana alam laut bagi
masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Mendorong
kemitraan dalam rangka meningkatkan peran aktif masyarakat dan swasta dalam
pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil; dan, Memperkuat
kapasitas instrumen pendukung pembangunan kelautan yang meliputi iptek, sumber
daya manusia, kelembagaan, dan peraturan perundangan. Pembangunan pertambangan
dan sumber daya mineral diarahkan untuk: Meningkatkan eksplorasi dalam upaya
menambah cadangan migas dan sumber daya mineral lainnya, Meningkatkan eksploitasi
dengan selalu memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan, khususnya
mempertimbangkan kerusakan hutan, keanekaragaman hayati dan pencemaran
lingkunga,. Menjamin kepastian hukum melalui penyerasian aturan dan penegakan
hukum secara konsekuen; dan ,Meningkatkan pelayanan dan informasi pertambangan,
termasuk informasi kawasan yang rentan terhadap bencana geologi. Pembangunan
lingkungan hidup diarahkan untuk: Meningkatkan koordinasi pengelolaan
lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah, Meningkatkan upaya penegakan
hukum secara konsisten kepada pencemar lingkungan, Meningkatkan kapasitas
lembaga pengelola lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah dan
Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan
berperan aktif sebagai kontrol sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup.
II.3 Karakteristik Ekologi Sumber Daya Alam
Ekologi
adalah ilmu yang mempelajari interaksi (timbal balik) antara organisme dengan
lingkungannya dan yang lainnya serta sumber daya alam adalah sesuatu yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup
lebih sejahtera. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam
tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Terdapat banyak jenis
pegelompokan sumberdaya disini dicontohkan terdapat tiga pengelompokan yaitu;
Sumber daya alam berdasarkan jenis : 1. sumber daya alam hayati / biotik :
adalah sumber daya alam yang berasal dari makhluk hidup. contoh : tumbuhan, hewan,
mikro organisme, dan lain-lain 2. sumber daya alam non hayati / abiotik :
adalah sumber daya alam yang berasal dari benda mati. contoh : bahan tambang,
air, udara, batuan, dan lain-lain 3. Sumber daya alam berdasarkan sifat
pembaharuan : sumber daya alam yang dapat diperbaharui / renewable yaitu sumber
daya alam yang dapat digunakan berulang-ulang kali dan dapat dilestarikan.
contoh : air, tumbuh-tumbuhan, hewan, hasil hutan, dan lain-lain 4. sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui / non renewable : ialah sumber daya alam
yang tidak dapat di daur ulang atau bersifat hanya dapat digunakan sekali saja
atau tidak dapat dilestarikan serta dapat punah. contoh : minyak bumi,
batubara, timah, gas alam. 5. sumber daya alam yang tidak terbatas jumlahnya /
unlimited contoh : sinar matahari, arus air laut, udara, dan lain lain. Sumber daya alam berdasarkan
kegunaan atau penggunaannya : 1. sumber daya alam penghasil bahan baku : adalah
sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menghasilkan benda atau barang lain
sehingga nilai gunanya akan menjadi lebih tinggi. contoh : hasil hutan, barang
tambang, hasil pertanian, dan lain-lain 2. sumber daya alam penghasil energi :
adalah sumber daya alam yang dapat menghasilkan atau memproduksi energi demi
kepentingan umat manusia di muka bumi. misalnya : ombak, panas bumi, arus air
sungai, sinar matahari, minyak bumi, gas bumi, dan lain sebagainya. Faktor-faktor pembatas ekologis ini perlu
diperhitungkan agar pembangunan membawa hasil yang lestari.Hubungan antara pengawetan
ekosistem dan perubahan demi pembangunan demi pembangunan ada tiga prinsip yang
perlu diperhatikan, yaitu : 1. Kebutuhan untuk memperhatikan kemampuan untuk
membuat pilihan penggunaan sumber alam di masa depan. 2. Kenyataan bahwa
peningkatan pembangunan pada daerah-daerah pertanian tradisional yang telah
terbukti berproduksi baik mempunyai kemungkinan besar untuk memperoleh
pengembalian modal yang lebih besar dibanding daerah yang baru. 3. Kenyataan
bahwa penyelamatan masyarakat biotis dan sumber alam yang khas merupakan
langkah pertama yang logis dalam pembangunan daerah baru, dengan alasan bahwa
sumber alam tersebut tak dapat digantikan dalam arti pemenuhan kebutuhan dan
aspirasi manusia, dan kontribusi jangka panjang terhadap pemantapan dan produktivitas
daerah Seperti pernyataan diatas, Sumber
daya alam ini adalah energi yang sifatnya tidak dapat digantikan. Proses
penggantian ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Hampir setiap waktu sumber
daya alam ini tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Beberapa sampel yang
bisa kita lihat bahwa sember daya alam ini tak bisa lepas dari kehidupan kita
sehari-hari. Untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam
dan keberlanjutan sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka
pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan
dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme
dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan
kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah. Dengan
pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya,
teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar
mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal
sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang
diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan”
untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa
dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan
SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
II.4 Daya Dukung Lingkungan Daya dukung lingkungan
hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia
dan makhluk hidup lain. Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan
cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung
kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup.
Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan
karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan.
Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam
penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai. Daya dukung lingkungan hidup terbagi
menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan
kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Dalam pedoman ini, telaahan
daya dukung lingkungan hidup terbatas pada kapasitas penyediaan sumber daya
alam, terutama berkaitan dengan kemampuan lahan serta ketersediaan dan
kebutuhan akan lahan dan air dalam suatu ruang/wilayah. Oleh karena kapasitas
sumber daya alam tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan
lahan dan air, penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam pedoman ini
dilakukan berdasarkan 3 (tiga) pendekatan, yaitu: 1. Kemampuan lahan untuk
alokasi pemanfaatan ruang. 2. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan
lahan. 3. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Agar pemanfaatan
ruang di suatu wilayah sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup dan sumber
daya, alokasi pemanfaatan ruang harus mengindahkan kemampuan lahan.
Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air di suatu
wilayah menentukan keadaan surplus atau defisit dari lahan dan air untuk
mendukung kegiatan pemanfaatan ruang. Hasil penentuan daya dukung lingkungan
hidup dijadikan acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Mengingat
daya dukung lingkungan hidup tidak dapat dibatasi berdasarkan batas wilayah
administratif, penerapan rencana tata ruang harus memperhatikan aspek
keterkaitan ekologis, efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ruang, serta dalam
pengelolaannya memperhatikan kerja sama antar daerah. Status daya dukung lahan
diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan lahan (SL) dan kebutuhan lahan
(DL).Penentuan daya dukung lahan dilakukan dengan membandingkan ketersediaan
dan kebutuhan lahan. 1. Bila SL > DL , daya dukung lahan dinyatakan surplus.
2. Bila SL < DL, daya dukung lahan dinyatakan defisit atau terlampaui. Di
dalam Ketentuan Umum UU RI no 23 tahun 1997 Pasal 1 Ayat 6 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lain. Konsep tentang daya dukung sebenarnya berasal dari pengelolaan
hewan ternak dan satwa liar. Daya dukung itu menunjukkan kemampuan lingkungan
untuk mendukung kehidupan hewan yang dinyatakan dalam jumlah ekorpersatuan luas
lahan.
II.5.
Keterbatasan Kemampuan Manusia Dalam
perspektif filsafat, nalar antroposentrisme merupakan penyebab utama munculnya
krisis lingkungan. Antroposentrisme merupakan salah satu etika lingkungan yang
memandang manusia sebagai pusat ekosistem. Bagi etika ini, nilai tertinggi dan
paling menentukan dalam tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya.
Dengan demikian, segala sesuatu selain manusia (the other) hanya akan memiliki
nilai jika menunjang kepentingan manusia, ia tidak memiliki nilai di dalam dirinya
sendiri. Karenanya, alam pun dilihat hanya sebagai objek, alat, dan sarana bagi
pemenuhan kebutuhan manusia. Cara pandang antroposentris ini menyebabkan
manusia mengeksploitasi dan menguras sumber daya alam dengan sebesar-besarnya
demi kelangsungan hidupnya. Tak pelak, krisis lingkungan pun sulit
terhindarkan, karena alam tidak mampu lagi berdaya menahan gempuran keserakahan
manusia. Antroposentrisme atau ada yang menyebut egosentrisme merupakan buah
dari alam pikiran modern tersarikan dari esensialisme kesadaran akan kenyataan
otonomi manusia di hadapan alam semesta, yang mulai muncul di bawah semboyan
terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!) dan Cogito ergo sum (saya
berpikir maka saya ada)-nya Rene Descartes. Dengan semboyan kokoh ini, alam
pikiran modern benar-benar menjadi masa di mana rasionalitas manusia muncul dan
menggeser segala otoritas non-rasio, termasuk agama. Dari kesadaran
essensialisme inilah embrio nalar antroposentrisme mulai nampak. Keyakinan akan
rasionalitas manusia pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas
kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologi hingga munculnya
masyarakat ekonomi global yang pada akhirnya membawa bencana yang maha dahsyat,
yakni krisis lingkungan yang justru mewarnai optimisme modernitas ini.
Mula-mula secara embrional, masyarakat ekonomi global lahir dari rahim revolusi
industri dan revolusi hijau, yang telah menggeser masyarakat feodal yang mapan.
Masyarakat ekonomi baru ini senantiasa didominasi oleh keinginan untuk
memanfaatkan sebesar-besarnya potensi alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan
manusia. Karena motif ekonominya yang begitu dominan, pada akhirnya tidak ramah
terhadap lingkungan. Menurut Hossein Nasr Manusia modern telah mendesakralisasi
alam, meskipun proses ini sendiri hanya di bawa ke kesimpulam logisnya oleh sekelompok
minoritas. Apapalgi alam telah dipandang sebagai sesuatu yang harus
digunakan dan dinikmati semaksimal
mungkin. Etika antroposentrisme pada akhirnya bukannya tanpa kritik.
Setidaknya, oleh berbagai aliran etika lingkungan yang muncul belakangan, baik
oleh etika neo-antroposentrisme (yang hendak memperbaiki kesalahan-kesalahan
pendahulunya), etika biosentrisme (yang menganggap semua makhluk adalah pusat
kehidupan, dan masing-masing memiliki nilai dan tujuan, dengan demikian,
manusia tidak lebih unggul dari spesies yang lain, karena ia tidak lain adalah
anggota dari komunitas kehidupan), etika ekosentrisme (yang menganggap bahwa
bukan hanya manusia dan benda yang hidup saja yang menjadi anggota ekosistem,
tetapi juga benda mati [abiotik]), dan etika kepedulian (yang menganggap bahwa
antara manusia dan alam adalah sama-sama lemahnya, dan tidak bisa hidup dengan
dirinya sendiri, karenanya manusia di dalam relasinya dengan alam harus
mengedepankan sikap kepedulian). Untuk itu diperlukan alternatif landasan etika
yang lebih komprehensif yakni etika bersama yang mengikat secara transenden,
yakni sebuah etika bersama yang di dalam pandangan etisnya memiliki garis
vertikal kepada Yang Absolut. Lalu, di atas landasan apa etika bersama itu
hendak dibangun?. Dengan melihat berbagai dimensinya, hemat penulis, nampaknya
agama mampu memainkan peran itu. Selain merupakan fenomena universal manusia,
agama juga merupakan dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak
mudah –untuk tidak mengatakan tidak mungkin- tergantikan oleh ideologi lain,
baik humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains
ateistik ala Freud dan Russel, atau pun yang lain. Agama, nampaknya tampil
dengan sangat meyakinkan karena memberikan basis absolutisitas dan keharusan
moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Tuntutan
etis serta keharusan tanpa syarat itu hanya bisa didasarkan pada sesuatu yang tak
bersyarat dan yang Absolut. Jadi upaya mengatasi krisis lingkungan, secara
etis, harus melibatkan berbagai landasan etis yang memang benar-benar
memposisikan manusia dan alam sama-sama derajatnya, baik dalam ketinggiannya
(biosentrisme dan ekosentrisme), maupun dalam kerendahannya (etika kepedulian)
sekaligus membingkainya dengan etika bersama yang mengikat secara transenden.
Etika semacam ini bukan sekedar teori moral, melainkan juga sebuah ecosophy
karena mencakup teori dan kearifan hidup (wisdom). Jika krisis lingkungan tidak
hanya disebabkan oleh perilaku teknis, tetapi juga disebabkan oleh ecosophy
yang salah, maka upaya mengatasi krisis lingkungan juga bisa dimulai dari
ecosophy yang memposisikan secara tepat hubungan manusia di dalam ekosistem.
Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan
tanggung jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam
pemanfaatannya dimana kesejahteraan bersama yang berkelanjutan sebagai hasil
keseluruhan yang diinginkan. Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan
bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan manfaat dari suatu
sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya
sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang sama
yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya
yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi. Manusia sebagai
pengolah sumber daya alam dituntut semaksimal mungkin untuk mengolah sumber
daya alam. Tapi banyak diantara manusia tersebut yang tidak mampu untuk
mengolah sumber daya alam yang telah tersedia yang mengakibatkan negara kita
selalu tertinggal dari Negara-negara lain diluar sana yang sudah maju. Padahal
negara-negara tersebut tidaklah memiliki sumber daya alam sebanyak yang kita
punya ,tpi mereka sselalu dapat mengolah setiap sumber daya alam yang telah
tersedia di Negara mereka yang membuat negara mereka terus maju. Maka dari itu
yang harus kita lakukan adalah kita harus lebih meningkatkan sumber daya
manusia atau kemampuan dari masyarakat kita agar bisa memaksimalkan atau
mengolah sumber daya alam kita yang begitu melimpah ini. Bukan mustahil jika
kita bisa mengolahnya ,kita akan seperti Negara-negara yang telah maju atau
bahkan melebihi mereka.
II.5.1
Keterbatasan Ekologi Planet bumi yang menjadi tempat tinggal makhluk hidup untuk
tumbuh dan berkembang biak memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam mencukupi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dalam perkembanganya pada organisme mengalami
seleksi alam, misalnya telur ikan yang beribu-ribu itu dari induknya, yang
dapat hidup terus hingga dewasa hanya beberapa ekor saja. Skema representasi dari angka kematian ikan
laut. Hanya beberapa ikan yang bertahan hingga dewasa dari ribuan telur. Begitu
juga tiram, binatang laut ini dapat menghasilkan 500 milion telur sekali
bertelur. Jika semua telur-telur itu berkembang menjadi tiram-tiram dewasa dan
semua keturunannya hidup, maka sesudah generasi keempat kita dapat menemukan
tumpukan tiram-tiram seluas bumi selama 8 tahun. Demikian pula tumbuhan
mempunyai kemampuan berkembang biak secara cepat jika spora-spora atau
biji-biji yang disebarkan tumbuh semua menjadi dewasa, maka populasi tumbuhan
akan naik luar biasa. Demikianlah seleksi alam selalu terjadi. Semua hewan dan
tumbuhan cenderung untuk tumbuh bereproduksi dan mati, sampai dikurangi oleh
pengaruh lingkungan, faktor yang mula-mula menghentikan pertumbuhan dan
penyebaran dari organisme disebut faktor pembatas. Hal ini terjadi pada makhluk
hidup, sedangkan pada lingkungan hidup secara luas mempunyai keterbatasan.
Lahan pertanian yang tadinya subur karena diolah terus menerus, maka
kesuburannya menjadi berkurang. Apabila pada lahan tersebut penduduknya
bertambah, maka “beban”nya menjadi bertambah pula karena dipacu untuk
memproduksi melebihi kapasitasnya dengan cara diberi pupuk dan sebagainya.
Sebagai akibat dari hal tersebut maka lahan itu mengalami penurunan kemampuan
produksi ataupun yang disebut dengan deteriorasi lingkungan. Kondisi lingkungan
yang dalam keadaan produktifitasnya optimal dan seimbang secara ekologi
dikatakan dalam kodisi homeostatis. Deteriorasi lingkungan salah satunya
ditandai oleh pemulihan produktifitas yang berjalan lambat. Sebagai contoh
digambarkan oleh Hagget (1983) pada petani sistem ladang berpindah yang tanah
kurang subur dan daerahnya luas dengan penduduk jarang. Pada gambar 1 dan 2
berikut dijelaskan hubungan tingkat kesuburan tanah dengan waktu. Apabila
jumlah penduduk bertambah banyak, maka waktu pemulihan kesuburan lahan menjadi
pendek sehingga kesuburannya belum pulih lahan mulai ditanami lagi. Sebagai akibatnya
maka kesuburannya akan semakin merosot. Hal ini juga terjadi pada lahan daerah
yang seharusnya kemampuan ditanami padi 1 tahun sekali dipacu untuk panen sattu
tahun menjadi dua kali dengan berbagai cara akibatnya kesuburan lahan cepat
menurun.Upaya pelesterian lingkungan hidup sangat penting untuk dilakukan.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam
proses pembangunan itu tentu akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan
hidup. Pembangunan tidak saja mendatangkan manfaat, tatapi juga membawa resiko
kerusakan lingkungan. Kita melihat di sekitar kita misalnya hutan diubah
menjadi lahan sawah untuk memproduksi bahan makanan, dengan perubahan lahan
hutan menjadi lahan sawah ini akan menggangu keseimbangan ekologi. Sungai kita
bendung untuk mendapatkan manfaat listrik, bertambahnya saluran irigasi, dan
terkendalinya banjir. Resikonya ialah tergusurnya kampung dan sawah penduduk
setempat, dan punahnya jenis hewan dan tumbuhan tertentu. Kayu di hutan kita
tebang, devisa dari ekspor kayu kita dapatkan, sebaliknya kita menghadapi
resiko kepunahan hewan dan tumbuhan, bertambahnya erosi tanah, rusaknya tata
air, dan terjadinya hutan alang-alang. Sarana transportasi kita tambah,
hubungan satu tempat ke tempat lain menjadi mudah, tetapi resikonya pencemaran
udara dan kebisingan, serta kecelakaan lalu lintas. Seperti contoh pada gambar
di atas, gambar waduk menggusur petani yang hidup di lembah sungai yang
dibendung. Sementara itu manfaat listrik masih banyak melampaui mereka dan
belum menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka .Akibatnya tekanan penduduk
terhadap lahan meningkat. Hutan rusak, erosi dan pedangkalan waduk dipercepat.
II.5.2
Komunitas, Niche dan Suksesi Komunitas adalah kumpulan populasi organisme yang
hidup secara bersama di dalam suatu lingkungan. Contoh, Serigala, rusa,
berang-berang, pohon cemara dan pohon birch adalah beberapa populasi yang
membentuk komunitas hutan. Ekologi mempelajari peranan masing-masing spesies
yang berbeda di dalam komunitas mereka. Mereka juga mempelajari tipe komunitas
lain dan bagaimana mereka berubah. Beberapa komunitas seperti hutan yang
terisolasi atau padang rumput dapat diidentifikasi secara mudah, sementara yang
lainnya sangat sulit untuk dipastikan berdasarkan metode-metode ilmiah. Sebuah
komunitas tumbuh-tumbuhan dan binatang yang mencakup wilayah yang sangat luas
disebut biome. Batas-batas biome yang berbeda pada umumnya ditentukan oleh iklim.
Biome yang utama termasuk diantaranya padang pasir, hutan, tundra, dan beberapa
tipe biome air Peran suatu spesies di dalam komunitasnya disebut peran ekologi
(niche). Sebuah peran ekologi terdiri dari cara-cara sebuah spesies
berinteraksi di dalam lingkungannya, termasuk diantaranya faktor-faktor
tertentu seperti apa yang dimakan atau apa yang digunakan untuk energi,
predator yang memangsa, jumlah panas, cahaya atau kelembaban udara yang
dibutuhkan, dan kondisi dimana dapat direproduksi. Banyak ekolog memiliki
catatan yang panjang tentang beberapa spesies yang menempati peran ekologi
tinggi tertentu dalam komunitas tertentu.Berbagai penjelasan banyak yang
diusulkan untuk hal ini. Beberapa ahli ekologi merasa bahwa hal ini disebabkan
karena kompetisi jika dua spesies mencoba untuk mengisi peran ekologi
"niche" yang sama, selanjutnya kompetisi untuk membatasi berbagai
sumber daya akan menekan salah satu spesies keluar. Ahli lainnya berpendapat
bahwa sebuah spesies yang menempati peran ekologi yang tinggi, melakukannya
karena tuntutan fisik yang keras tentang peran tertentu tersebut di dalam
komunitas. Dengan kata lain hanya satu spesies yang menempati peran ekologi
"niche" bukan karena memenangkan kompetisi dengan spesies lainnya,
tetapi karena hanya satu-satunya anggota komunitas yang memiliki kemampuan
fisik memainkan peran tersebut. Perubahan komunitas yang terjadi disebut
suksesi ekologi. Proses yang terjadi berupa urutan-urutan yang lambat, pada
umumnya perubahannya dapat diramalkan yakni dalam hal jumlah dan jenis mahkluk
organisme yang ada di suatu tempat . Perbedaan intensitas sinar matahari,
perlindungan dari angin, dan perubahan tanah dapat merubah jenis-jenis
organisme yang hidup di suatu wilayah. Perubahan-perubahan ini dapat juga
merubah populasi yang membentuk komunitas. Selanjutnya karena jumlah dan jenis
spesies berubah, maka karakteristik fisik dan kimia dari wilayah mengalami
perubahan lebih lanjut. Wilayah tersebut bisa mencapai kondisi yang relatip
stabil atau disebut komunitas klimaks, yang bisa berakhir hingga ratusan bahkan
ribuan tahun. Para ahli ekologi membedakan dua tipe suksesi yakni primer dan
sekunder. Di dalam suksesi primer organisme mulai menempati wilayah baru yang
belum ada kehidupan seperti sebuah pulau baru yang terbentuk karena letusan
gunung berapi. Sebagai contoh anak Krakatau yang terbentuk sejak 1928 kini
telah dihuni oleh puluhan spesies. Suksesi sekunder terjadi setelah komunitas
yang ada menderita gangguan yang besar sebagai contoh sebuah komunitas klimaks
(stabil) hancur karena terjadinya kebakaran hutan. Komunitas padang rumput dan
bunga liar akan tumbuh pertama kali. Selanjutnya diikuti oleh tumbuhan
semak-semak. Terakhir pohon-pohonan baru muncul kembali dan wilayah tersebut
akan kembali menjadi hutan hingga gangguan muncul kembali. Dengan demikian
kekuatan-kekuatan alam yang terakhir menyebabkan terjadinya komunitas klimaks
(stabil). Sebagai tambahan para ahli ekologi memandang kebakaran dan gangguan
alam besar lainnya sebagai hal yang dapat diterima dan tetap diharapkan
Daftar pustaka :
Razak, Abdul dan Armin Arief. 2006. Pengetahuan lingkungan II. Padang : FMIPA UNP Riggs, FW. 1985. Administration in Developing Countries. Boston Sedarmayanti. 2003. Good Governance (Kepemerintahan yang baik). Bandung: Mandar Maju Setiyono. 2001. Aspek Hubungan Internasional Sebagai Faktor Pengubah Hukum. Jakarta : Majalah Hukum Trisakti Nomor 39 Sipardi, I. 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Cet.II. Alumni. Jakarta
Supriatna, Tjahya. 1993. Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Bumi Aksara Tanjung, SD. 1999. Pengantar Ilmu Lingkungan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar